Menjadi sosok yang tersohor memang bukan perkara mudah,
terlebih kalau memang memiliki niatan untuk menyebarkan kebaikan. Seperti yang
dialami oleh gus miftah berikut, dimana banyak komentar dan tuaian keras
daripada netizen mengenai dirinya.
Gus Miftah tidak ambil pusing dengan persoalan berbagai
pihak tentang pengajian yang ia selenggarakan di tempat lokalisasi. Sebab ia
sudah kebal karena selama puluhan tahun kegiatan itu memang telah berlangsung.
"Ya wes ra [sudah tidak] ngaruh bro, saya sudah belasan
bahkan puluhan tahun dikritik, dibully, sudah biasa. Dua tahun lalu sempat
viral juga terus sekarang lagi, aku ra urusan [tidak peduli]. Aku ngaji rene
koe yo ra tau bayari aku [aku ngaji ke sini juga kamu tidak pernah memberiku
bayaran] kok ribut," ujar Gus Miftah, saat melangsungkan Kajian Rutin
Ekslusif Warga Sarkem dan Laskar Jogja, di Balai RW 03, Sosrowijayan Kulon,
Kalurahan Sosromenduran, Gedongtengen, Selasa (24/11/2020) malam.
Menurutnya sekarang masih ada saja orang yang tidak bisa
membedakan mana bahasa panggung, bahasa guyon, serius atau malah sindiran. Hal
itu yang membuat ucapan seseorang mudah sekali untuk disalah artikan.
"Kadang kita ngomong [ceplas-ceplos] seperti ini dianggap
biasa saja, tapi sekarang semua diposting, dipotong dikit-dikit digunakan untuk
menyerang saya, bahkan kasus saya yang baru viral ini ada 9000 komentar di
instagram. Tapi alhamdulillah saya tidak pernah sakit hati. Karena tidak ada
yang saya baca," ucapnya sambil tertawa.
Gus Miftah menekankan bahwa sudah sepantasnya orang mulai
belajar untuk menghindari ghibah saat melihat orang lain. Fenomena yang sering
terjadi saat ini kebanyakan orang tidak tahu faktanya seperti apa tapi sudah
lebih dulu berkomentar.
Setelah memberikan komentar, pada akhirnya orang yang
bersangkutan merasa menyesal. Begitu juga yang ramai di medsos tentang
pengajian di Sarkem atau lokalisasi ini.
"Belajar menghindari ghibah saat kita melihat orang
lain. Kalau omonganmu itu bener ya tetep ghibah, tapi kalau salah itu fitnah,
tidak ada benarnya," terangnya.
Gus Miftah memberi contoh mengenai sikap yang mengecap
seseorang terlalu dini dengan ajaran dari Sayyidina Ali yang mengatakan bahwa
saat di malam hari melihat ahli maksiat dan bertemu lagi di keesokan harinya.
Lebih baik untuk tidak menyebut yang bersangkutan adalah
ahli maksiat. Sebab, bisa jadi malam itu dia bertobat sementara mata kita tidak
pernah melihat.
"Jadi kalau bahasa saya yang menyebut lonta-lonte itu,
memang tidak ditujukan kepada siapapun. Karena memang saya ngurusi mereka tapi
saya tidak pernah menunjukkan itu kepada siapapun. Sama halnya, tentang fiqih,
anjing itu haram, lalu apakah boleh mengucapkan anjing? Boleh dan itu bukan
sebuah umpatan. Jadi memang boleh berkata tapi sesuai konteks dan
proporsinya," tuturnya.
Disampaikan Gus Miftah bahwa banyak juga orang yang masih
mempertanyakan tentang eksisnya lokalisasi sarkem setelah pengajian. Beberapa
pihak menyebut seharusnya lokalisasi itu sudah tutup kalau memang sudah
dilakukan pengajian seperti itu.
"Ada yang menayakan tentang kalau sudah ngaji di sarkem
puluhan tahun kenapa kok sarkem masih buka? Pertanyaannya saya apa hubungannya
Gus Miftah dengan nutup sarkem? Saya bukan pemerintah, saya bukan wali kota, di
sini saya sekadar menyampikan apa yang saya bisa, itu saja," tegasnya.
Terkait masih banyaknya orang yang berkecimpung di dalamnya,
kata Gus Miftah itu adalah hukum dunia malam. Jadi memang ada yang kemudian
keluar tapi juga ada yang kembali masuk. Ada yang sudah sejak awal ikut tapi
orang baru pun masih tetap ada.
"Kalau tidak tahu sesungguhnya, doakan saja, kalau
menjelek-jelekkan tidak akan membuat mereka lebih baik. Tetapi kalau didoakan
bisa jadi doa itu menjadi wasilah bagi mereka," tandasnya.
Perlu diketahui sebelumnya ramai diperbincangkan di media sosial
mengenai Soni Eranata, atau yang lebih dikenal dengan nama Ustaz Maaher At
Thuwailibi, yang menyebut Gus Miftah sebagai seorang ulama pecinta wanita
malam. Hal tersebut disampaikan lantaran melihat dakwah Gus Miftah yang kerap
dilakukan di lokalisasi dan tempat hiburan malam.