
Sekolah bagi anak-anak hingga remaja itu penting sekali, meski pada dasarnya memiliki bakat lain, namun harus tetap memiliki beberapa pemahaman terhadap pelajaran umum juga.
Akan tetapi karena beberapa kondisi, menjadikan sebagian orang tidak bisa sekolah, dan kebanyakan yang terjadi di Indonesia dilatarbelakangi oleh faktor biaya.
Tak seperti remaja kebanyakan yang memilih sekolah untuk mencari ilmu
Bocah berusia 14 tahun ini malah memilih jadi seorang kuli bangunan
Bukan tanpa alasan dirinya berhenti sekolah dan memilih jadi kuli bangunan, sebab ia melakukan semua itu demi mencari nafkah untuk keluarganya.
Posturnya kecil layaknya anak-anak usia sekolah dasar, walau pun usianya menginjak 14 tahun.
Tak ada yang menyangka di bahunya yang kurus tersimpan beban berat menanggung biaya untuk kedua orangtuanya yang mengidap gangguan jiwa.
Masa kecil anak lelaki berinisial SLF (14) yang tinggal di sebuah desa di wilayah Kabupaten Demak, Jawa Tengah mendadak suram, usai dokter memberi vonis gangguan kejiwaan bagi ayah dan ibunya, dua tahun yang lalu.
Sejak saat itulah ia terpaksa menghentikan kegiatan sekolah karena harus menjaga kedua orang tuanya.
Semula tabungan orang tua SLF masih cukup untuk biaya hidup sehari hari dan biaya berobat ke RSJ di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Tak ada biaya, terpaksa berhenti sekolah Tetapi lama kelamaan tabungan makin menipis karena tak ada pemasukan lagi.
Para kerabat dan tetangga secara sukarela membantu meringankan beban hidup terutama kebutuhan makan. Tetapi tentu saja tak mencukupi semua kebutuhan keluarga SLF.
"Ogak sekolah njagani bue. (Tidak sekolah untuk menjaga Ibu)," ucap SLF singkat kepada Kompas.com , Minggu (19/4/2020).
Layaknya anak anak yang kurang kasih sayang orang tua, SLF memang terkesan minder dan tak banyak bicara.
Beruntung, salah satu kerabatnya bernama Sutarni (45) tergugah ikut menjaga orang tua SLF.
Setelah tahu ada orang yang bersedia mengurus orang tuanya, maka SLF pun nekat merantau ke Jakarta untuk mengadu untung.
"Di Jakarta ikut tetangga yang jualan buah," tutur Sutarni.
Apa daya, pandemi Corona yang tengah mengancam dunia juga ikut memporak-porandakan nasib SLF.
Tetangganya tak bisa lagi berjualan.
SLF pun hanya menurut apa takdirnya.
Beruntung sebelum larangan mudik diberlakukan, bocah pendiam itu sudah lebih dulu pulang ke pangkuan ibunya.
Ayah dipasung, ibu tak mengenalinya
Sayang sungguh sayang, sang Ibu (SA) sudah tak mengenali siapa pun termasuk SLF anak semata wayangnya itu.
Sedangkan nasib ayahnya (SU) tak lebih baik dari sang Ibu, ia sudah terpasung dan terjebak dalam dirinya sendiri.
SLF kini menyambung hidup dengan menjadi kuli bangunan cilik mengikuti tetangganya Ngaripin (48) yang juga ketua RT di tempat SLF tinggal.
"Anaknya rajin, sebenarnya saya kasihan kalau dia kerja berat, tapi saya mau menolong semuanya juga bingung karena kami sendiri juga banyak tanggungan," ujar Ngaripin.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kedua Orangtuanya Gangguan Jiwa, Remaja 14 Tahun Terpaksa Jadi Kuli Bangunan